Sunday, February 20, 2011

TABUNGAN PUNIA

Oleh :Pinandita Astono Chandra Dana (Sekum Pinandita Sanggraha Nusantara Pusat)

Badan Dharma Dana Nasional (BDDN) dengan 3 program yang menyentuh keumatan yakni Program Peningkatan Mutu SDM Hindu dengan program Beasiswanya, Program Kesehatan Masyarakat (program Asuransi Pinandita dan Pandita), serta Program Pemberdayaan Ekonomi Umat, ternyata dari semenjak berdirinya sampai dengan saat ini belum mampu secara maksimal menjaring partisipasi aktif dari warga masyarakat Hindu yang memiliki potensi dan kemampuan untuk berdana punia.

Dalam laporan terakhir dari Ketua BDDN dalam Pasamuhan Agung PHDI di Bali pada awal bulan Desember tahun lalu disebutkan bahwa partisipan umat baru mencapai sekitar + 500 orang dari sekitar 10 jutaan warga Hindu penduduk Indonesia. Padahal pengurus BDDN sudah sangat aktif melakukan sosialisasi keberbagai lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga-lembaga BUMN, lembaga-lembaga swasta, banjar-banjar dan pura-pura dalam setiap kesempatan yang ada.

Demikian pula dengan adanya kerjasama lembaga antara BDDN dengan Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN) Pusat dalam hal program peng-Asuransi-an para Pinandita dan Pandita sejak tahun 2009 yang lalu, maka seluruh jajaran PSN pun telah memberikan kontribusi dalam penyebaran informasi dan sosialisasi mengenai program BDDN diberbagai daerah yang dikunjungi dan dalam berbagai kesempatan yang ada.

Dan penulis juga sangat yakin bahwa program-program BDDN inipun sudah pasti selalu menjadi bahan yang harus disampaikan dan disosialisasikan oleh para Pengurus Parisada baik ditingkat Pusat maupun di daerah.

Namun yang menjadi pertanyaan dan “QUESTION MARK” yang besar, mengapa program-program luhur BDDN tersebut belum mampu menstimulan partisipasi aktif umat dalam berdana punia melalui wadah BDDN?????

Dalam beberapa kali Pasamuhan Agung PHDI belakangan ini dan yang terakhir yang dilaksanakan di Bali beberapa waktu yang lalu, muncul wacana/gagasan/ide kreatif dari Ketua Dharma Adyaksa yang mendapat respon dan dukungan dari beberapa pengurus harian Parisada dan juga dari sejumlah Pandita anggota Sabha Pandita, dalam rangka penggalian Dana Punia umat melalui sebuah program yang disebut PROGRAM NYOLASIN.

Program yang diwacanakan ini mengambil acuan atau model Multi Level Marketing (MLM) dimana “sebelas orang pertama” berdana punia sehingga terkumpul sejumlah dana sebagai dana awal, kemudian masing-masing dari ke “sebelas orang pertama” tersebut mencari Down Line minimal 11 orang dan terus berjenjang kebawah (seperti halnya pernah diterapkan oleh subak dibali), sehingga diharapkan bisa terkumpul dana yang cukup besar yang akan dijadikan sebagai DANA ABADI Umat dan peruntukannya direncanakan (kalau berjalan lancar), sebesar-besarnya demi kepentingan umat Hindu Indonesia.

Sungguh mulia sekali tujuan yang direncanakan dari wacana program tersebut, namun pertanyaannya mampukah diimplementasikan diwarga masyarakat kita (khususnya umat Hindu) dengan berbagai latar belakang, strata kehidupan yang berbeda-beda tersebut???????

Apa yang terjadi pada program BDDN tersebut diatas, serta apa yang menjadi “concern” dari ide kreatif Program Nyolasin yang kemungkinannya juga akan sulit untuk diimplementasikan pada umat kita, ini menjadi bahan renungan dan pengkajian yang mendalam bagi penulis dan mungkin juga bagi semua pemerhati umat Hindu.

Ada beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak ini, :
1. Mengapa Program-program yang memiliki tujuan baik dan luhur seperti diatas sering tidak mendapatkan apresiasi positif dari umat kita???
2. Sejauh manakah pemahaman umat tentang dana punia tersebut????
3. Mengapa program-program sejenis diumat lain (agama tetangga) kok bisa berjalan dan mampu mengumpulkan dana yang sangat besar????
4. Adakah langkah-langkah keliru yang pernah dilakukan yang dampaknya pernah dirasakan oleh umat kita sehingga menjadikannya seolah-olah “masa bodoh”?????
5. Sejauh mana program pendidikan formal dan non formal membahas dan mengajarkan tentang Dana Punia????

Sejauh pengamatan penulis, bila kita coba perbandingkan dengan program sejenis di komunitas yang lain maka terlihat suatu upaya yang sangat sistematis, mulai usia dini sampai usia dewasa dalam berbagai kesempatan terus disampaikan (didoktrinasi) bahwa dana punia (dengan istilah mereka sendiri) adalah suatu kewajiban suci yang harus dilaksanakan oleh komunitas mereka, sebab kalau tidak dilaksanakan akan menjadi DOSA BESAR bagi mereka sebab secara tidak langsung mereka akan dicap sebagai pemakan (perampok) hak orang lain. Dan hal tersebut ditanamkan secara terus menerus sejak usia dini sehingga dialam bawah sadar mereka sudah terpatri bahwa kalau saya tidak melakukan kewajiban tersebut maka saya akan berdosa besar dan PINTU NERAKA sudah menanti dialam akhirat nantinya.

Wow…..sungguh indoktrinasi yang sangat luarbiasa, namun hal tersebut sangat efektif dirasakan dalam penggalangan dana umat untuk tujuan-tujuan keumatan mereka juga.

Apakah langkah-langkah atau cara-cara seperti itu bisa ditiru diumat kita??? Mengapa Tidak??????? Sepanjang tujuannya positif demi kepentingan umat kita juga, maka langkah atau cara seperti itupun kiranya layak untuk dipertimbangkan.

Parisada bersama segenap komponen Hindu lainnya bekerjasama dengan Kementerian Agama cq. Dirjen Bimas Hindu hendaknya melakukan koordinasi dengan Kementrian Pendidikan Nasional agar pengertian dan pemahaman tentang apa dan bagaimana dana punia itu serta implikasinya dalam kehidupan umat bisa mulai diajarkan, dibahas dan ditanamkan kepada generasi Hindu sejak usia dini, sehingga masuk kealam bawah sadar dari generasi Hindu mendatang bahwa berdana punia adalah sebuah kewajiban yang harus dan patut dilaksanakan oleh setiap individu Hindu, demi sebesar-besarnya kepentingan pembangunan dan pembinaan umat Hindu kedepan.

Memang proses ini akan butuh waktu, mungkin 10 – 15 tahun mendatang baru akan terlihat hasilnya. Namun kalau kita tidak mulai melangkah dari sekarang maka 10 -15 tahun kedepan hal yang sama seperti kondisi saat ini akan terulang dan terulang kembali.

Pertanyaan kemudian adalah : Bila kita perlu/butuh dana itu sekarang atau dalam jangka pendek ini, maka kira-kira apa dan bagaimana langkah-langkah yang harus diambil??????????

Penulis ada suatu pemikiran yang mudah-mudahan bisa menjadikan solusi untuk mengatasi permasalahan diatas (Pemikiran penulis ini sudah pernah penulis paparkan dan sampaikan kepada salah satu pengurus harian Parisada Pusat ketika beliaunya berkunjung ke kantor tempat kerja penulis).

Seperti kita ketahui saat ini dengan kondisi perekonomian masyarakat, khususnya umat Hindu di Indonesia, yang secara nasional kurang menggembirakan, maka himbauan untuk mengeluarkan dan melepaskan sejumlah uang untuk berdana punia akan dirasakan cukup berat mengingat beban hidup yang makin meningkat. Akan berbeda halnya bila kita menghimbau untuk menabung, pastilah akan mendapatkan respon lebih positif sebab dalam pikiran mereka uang yang dikeluarkan tersebut masih tetap milik mereka dan bisa sekali waktu dipakai untuk pemenuhan kebutuhan mereka.

Bila sidang pembaca ingat, bahwa sejak kecil kita sering diajarkan oleh para orang tua kita bahwa dalam hidup ini tidak boleh boros, harus bisa berhemat dan menabung. Kemudian kita dibelikan tempat menyimpan uang dari tembikar yang berupa “celengan atau ayam jago”. Saat itu kita sangat gembira menerima “celengan atau ayam jago” tersebut, dan kitapun dengan senang hati menyisihkan sebagian uang jajan kita untuk dimasukkan kedalam celengan atau ayam jago tersebut. Pas mendekati hari raya, kemudian kita bersama saudara-saudara yang lain membuka celengan atau ayam jago tersebut dengan melubangi bagian bawahnya atau terkadang malah dipecahkan/dihancurkan. Kitapun dengan riangnya menghitung satu demi satu koin atau lembaran uang yang kita sisihkan tersebut untuk bekal hari raya atau beli baju baru.

Ada juga sebagian yang lain, malah menyimpan uangnya di lemari pakaian atau dibawah bantal atau di tiang bambu atau dimanapun sebagai media penyimpanannya. Yang penting tersimpan aman dan sekali waktu bisa diambil.

Nah model menabung yang seperti ini yang mendasari ide/pemikiran penulis untuk mencoba mencari terobosan dan solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga keumatan Hindu dalam penggalangan dananya, salah satunya seperti BDDN diatas.
Dalam upaya penggalangan dana dari umat Hindu, penulis menawarkan dengan pendekatan mengajak umat dalam program yang diberi judul “MENABUNG SAMBIL BERDANA PUNIA”.

Mengutip kitab Sarasamuscaya 261-262 bahwa : Dalam berusaha memperoleh sesuatu hendaknya senantiasa didasarkan atas Dharma. Dana yang diperoleh hendaklah dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, bagian pertama untuk pemenuhan kebutuhan DHARMA yakni kebutuhan hidup rohani dan spiritual kita, bagian kedua untuk pemenuhan kebutuhan KAMA yakni kebutuhan hidup badan jasmani kita (sandang, pangan, papan), sedangkan bagian yang ketiga adalah untuk pemenuhan kebutuhan ARTHA yakni kebutuhan untuk kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang dengan cara mengembangkan usaha atau menabung, agar bisa diperoleh kebahagiaan lahir dan batin (jasmani dan rohani).

Bersumber pada hal tersebut kita akan coba padu-padankan pemenuhan kebutuhan DHARMA dan pemenuhan kebutuhan ARTHA tersebut, dengan menghimbau masyarakat umat Hindu untuk giat dan gemar kembali menabung. Menabung dengan jangka waktu tertentu. Tabungan ini bentuknya mengambil model seperti waktu kecil kita dahulu yakni seolah-olah menyimpan di “celengan” (seberapa jumlah uang yang dimasukkan sebegitu juga hasil yang didapat).

Artinya meskipun tabungan tersebut nantinya disetorkan/ditabungkan kesuatu/kesebuah lembaga keuangan (bank), yang mana nantinya akan ada keuntungan (profit) berupa bunga yang diberikan, namun kepada umat tersebut, hak atas bunganya tersebut tidak diserahkan kepada yang bersangkutan, melainkan kepada lembaga keumatan yang ditunjuk untuk itu, sebagai dana punia.

Jadi umat masih mempunyai hak atas dananya tersebut dan dalam jangka waktu tertentu bisa diambil dan dimanfaatkan, hanya saja keuntungan bunganya yang tidak didapatkan karena dipakai sebagai dana punia.

Dan atas dana punia yang diberikan oleh umat tersebut, lembaga keumatan yang bersangkutan bisa memberikan kompensasi berupa misalnya : kartu pengobatan gratis, atau berupa tanggungan asuransi baik untuk kesehatan, kecelakaan maupun kematiannya.
Dengan cara-cara tersebut maka niscaya umat akan senang hati, karena seakan-akan tanpa mereka sadari bahwa mereka telah berdana punia hanya dengan jalan menabung.

Namun satu hal yang mesti disosialisaikan bahwa untuk tabungan tersebut umat diikat dalam suatu perjanjian tertulis dimana umat yang bersangkutan baru boleh mengambil tabungannya paling cepat setelah kurun waktu 5 (lima) tahun. Adapun besaran dana tabungannya itu diserahkan sepenuhnya kepada kemampuan umat, namun disarankan rutinitasnya minimal setiap bulan sekali.

Apabila langkah-langkah ini bisa dijalankan maka penulis meyakini permasalahan-permasalahan dalam penggalangan dana umat yang seperti diatas dapat diatasi.
Adapun langkah-langkah yang mesti disiapkan adalah sbb :

Pertama, harus diciptakan/dibikin agar lembaga keumatan yang ada menjadi kredibel dimata umat, dengan menampilkan tokoh-tokoh umat yang sudah tidak diragukan lagi dedikasi dan kredibilitasnya serta dijalankan secara professional dengan tata kelola/manajemen dan kontrol yang memadai.

Kedua, lembaga tersebut hendaknya mengadakan kerjasama sama dengan sebuah lembaga keuangan (lebih baiknya lagi lembaga perbankan dan kalau bisa adalah sebuah bank pemerintah yang telah memiliki jaringan national dan internasional seperti BRI, BNI, bank Mandiri), dimana bank tersebut nantinya akan menampung dan menerima tabungan dana dari umat kita dengan membuka sebuah rekening baru dengan nama tertentu (misalnya ”TABUNGAN PUNIA BRI/ BNI/ Mandiri”) yang semata-mata diperuntukkan hanya untuk menampung dana-dana dari umat kita saja diseluruh Indonesia.

Dalam kerjasama tersebut secara jelas dan tegas dimuat bahwa tabungan yang dibuka adalah atas nama umat yang bersangkutan, sedangkan hak bunga dari tabungan tersebut seluruhnya disisihkan dan dimasukkan kedalam sebuah rekening penampungan (Escrow Account) atas nama lembaga keumatan tersebut untuk dipergunakan dalam berbagai kepentingan keumatan kita.

Setiap umat yang akan menabung diwajibkan mengisi formulir yang menyatakan persetujuan untuk menyerahkan sepenuhnya hak atas bunga yang semestinya mereka dapatkan kepada lembaga keumatan yang ditunjuk, serta memberikan persetujuan untuk tidak mengambil dana tabungannya sampai jangka waktu tertentu (dalam hal ini disarankan minimal 5 tahun atau maksimal 10 tahun), dan setelah itu baru bisa diambil sejumlah nilai atau keseluruhan nilai dari yang telah disetorkan/ditabungkan tersebut.

Penulis menyadari bahwa ide ini mungkin tidak bisa langsung diterapkan, untuk itu perlu pertimbangan dan pengkajian yang lebih mendalam oleh para pengurus lembaga keumatan dimaksud, kemudian dilakukan uji coba disuatu daerah tertentu sebagai “pilot project”, dan bila hasilnya bagus barulah diterapkan secara nasional.

Demikian semoga bermanfaat untuk kita semua. “Om Ano Badrah Kratavo Yan tu Visvatah” Atas asung kertha wara nugraha dari Hyang Widhi, semoga pikiran-pikiran yang baik datang dari segala penjuru.

Kesamaswamam...... R a h a y u ..............