Wednesday, December 23, 2009

MAKNA PERSEMBAHAN

Oleh : Made Mariana (Abu Dhabi)

Inti dari semua aktivitas spiritual Hindu adalah untuk mencapai keharmonisan, kedamaian, keindahan dan keseimbangan. Untuk itu umat Hindu menjalani aktivitas spritualnya sehari-hari selaras dengan alam semesta.
“Being Spritual is Being Natural”

Untuk menciptakan dan menjaga keseimbangan dan keharmonisan. Upaya ini dilakukan dengan mengimplementasikan ajaran Tri Hita Karana (Tiga keharmonisan hubungan yang membawa pada kebahagiaan) yaitu:

1. Parahyangan. menjaga keharmonisan hubungan dengan Beliau-Beliau yang lebih tinggi dan sangat dihormati dan dimuliakan yaitu: Leluhurnya, Sinar Suci Tuhan (Dewa) dan Tuhan.

2. Pawongan: Menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama manusia, “Tat Twam Asi” Kamu adalah aku. “Vasudaiva kutum bakam” Semua manusia dilahirkan bersaudara. Dengan saling mengembangkan sikap tepo seliro, hormat menghormati dan saling menghargai semua perbedaan yang dimiliki, dan menyadari bahwa manusia adalah mahluk social, satu sama lain saling mendukung dan membutuhkan guna pencapaian kesuksesan di bidang masing-masing

3. Palemahan: Menciptakan dan menjaga keharmonisan hubungan dengan alam samesta beserta isinya. Dengan tidak melakukan pencemaran, tidak melakukan polusi dengan tindakan, kata-kata dan pikiran. Menjaga kelestarian alam dan species-species tanaman dan hewan langka.

Salah satu aktivitas menuju Parahyangan (Beliau yang lebih tinggi) adalah dengan persembahan. Persembahan berasal dari kata “sembah” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan dari Diknas Indonesia yang artinya: pernyataan hormat dan khidmat (dinyatakan dng cara menangkupkan kedua belah tangan atau menyusun jari sepuluh, lalu mengangkatnya hingga ke bawah dagu atau dengan menyentuhkan ibu jari ke hidung) mengangkat -- , menghormat dengan sembah; 2 kl kata atau perkataan yg ditujukan kpd orang yg dimuliakan

“Persembahan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan artinya:per•sem•bah•an n 1 hadiah; pemberian (kpd orang yg terhormat)

Jadi inti dari persembahan adalah hadiah atau pemberian kepada yang dihormati, dalam hal ini adalah Persembahan Kepada Leluhur, Sinar Suci Tuhan (Dewa), Tuhan

Melakukan pemberian sesungguhnya adalah melakukan pengorbanan, apabila pemberian ini atau hadiah ini tanpa disertai dengan motif apapun (baca: ikhlas), maka ini disebut dengan Yadnya.

Landasan spiritual untuk melakukan persembahan ini dimuat dalam berbagai kitab yang dijelaskan sbb:

Dewanrsin manusyamsca pitrn grhyasca dewatah
pujayitwa tatah pascad
Grhastha sesabhugbha
(Manawa Dharmasastra III.117)

Maksudnya: Setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan, kepada para Resi, leluhur yang telah suci (Dewa Pitara), kepada Dewa penjaga rumah dan juga kepada tamu. Setelah itu barulah pemilik rumah makan. Dengan demikian ia lepas dan dosa.

Dalam Bhagawad Gita III.13 dinyatakan, makanlah setelah melakukan yadnya. Dalam sloka Bhagawad Gita itu dinyatakan dengan istilah yadnyasistasinah, yang artinya “makanlah setelah beryadnya”. Yang makan setelah ber-yadnya akan lepas dan dosa.

Mereka yang makan tanpa ber-yadnya sebelumnya sesungguhnya makan dosanya sendiri.

Jadi apapun yang dimakan hendaknya dipersembahkan terlebih dahulu, bagi mereka yang memilih jalan vegetarian, persembahkanlah makanan vegetarian, demikian pula mereka yang memilih jalan non vegetarian persembahkanlah makanan yang non vegetarian, jangan makan sebelum dipersembahkan terlebih dahulu pada Tuhan yang mengkaruniakan makanan untuk kita semua.

Lebih lanjut dalam Maitri Upanisad (VI, 36) dikatakan, "Karena itulah seseorang semestinyalah Menghaturkan yajna di kuil dengan wirama suci, rempah, gehi, (kurban) daging, kue-kue, nasi yang sudah ditanak dan sebangsanya, dan juga dengan makanan minuman yang dimasukkan ke dalam mulut, karena memahami mulut sebagai api ahavaniya, supaya diberikan kelimpahan tenaga/kekuatan untuk merenungkan dunia kesucian dan untuk keabadian."

Kalo kita melihat dari sumber-sumber yang tersedia di nusantara kita akan dapati pula landasan ini pada Kakawin Râmâyana yang ditulis abad ke-9 di Jawa, yang sampai kini tetap dibaca dalam tradisi nyastra di Bali.

Dikisahkan Raja Dasaratha ber- yajnya untuk mendapatkan putra utama. Dia mengundang orang suci, Rsi Asrengga, menghaturkan sesajen kepada Tuhan. Bahan utama upacara yajnya tersebut dibuat dari sarana pilihan. Upakara-nya disyairkan sebagai berikut:

“Sajining yajnya ta humadang, sri wreksa samidha puspa ghanda phala, dadhi greta kresnatila madu, mwang kumbha kusagra wreti wetih”
(Sargah I : 24)
(Sesajen telah disediakan, kayu cendana kering, bunga-bungaan, harum-haruman, air susu, mentega, biji hitam, madu, tempayan, rumput alang-alang, dan gambar suci).

“Sang Hyang Kunda pinuja, caru makulilingan samatsya-mangsa dadi, kalawan sekul niwedya, inames salwiring marasa”
(Sargah I : 28).
{Dewa Agni dipuja dalam tungku pemujaan, dikelilingi caru (sesajen berupa makanan enak) yang terbuat dari ikan, daging, dan nasi. Sesajen itu diolah dengan bumbu yang menimbulkan nasa enak}.

“Ri sedeng Sang Hyang dumilah, niniwedyaken nikanang niwedya kabeh, osadi len phala mula, mwang kambang gandha dupadi”
(Sangah 1:29).
(Ketika api suci telah menyala, dipersembahkanlah semua sesajen. Obat-obatan, buah-buahan, umbi-umbian, bunga, harum-haruman, dupa, dan yang lainnya).

Caru, seperti dimaksud dalam bait kakawin Râmàyana tadi, adalah persembahan makanan enak, yakni nasi dengan lauk-pauk olahan sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, daging ikan (matsya) dan daging hewan (mangsa) pilihan yang dimasak dengan berbagai bumbu. Mengingat kakawin Ràmàyana ditulis di Jawa abad ke-9, maka caru dimaksud boleh jadi adalah makanan khas Jawa Kuno. Ingat juga tumpengan. Adakah itu berhubungan dengan tradisi ngelawar dan macaru di Bali?

Dikisahkan pula, lungsuran istilah lainnya prasadam (caru atau sesajen yang telah dipersembahkan) itu kemudian disuguhkan guna dinikmati ketiga permaisuri Raja Dasaratha. Akibat mempersembahkan caru yang dipandang utama itu, dia berhasil memperoleh kerahayuan berupa putra utama: Ràmà, Bhàrata, Laksamana, dan Satrughna.

Persembahan dikatakan baik apabila bahan persembahan diperoleh dengan pandangan dan cara benar; lalu diproses dan dipersembahkan dengan pandangan dan cara benar; Disertai dengan niat tulus tanpa ada pamrih (ikhlas) dan kemudian terbukti pula bahwa hasil persembahan itu adalah kerahayuan.

Diperoleh dengan pandangan dan cara yang benar maksudnya: Sesuatu yang dipersembahkan tidak diperoleh melalui mencuri, merampok, korupsi, nepotisme, kolusi, menipu, dan lain-lain, melainkan melalui Kerja (usaha sendiri).

Diproses dan dipersembahkan dengan pandangan dan cara yang benar: Mengikuti aturan tradisi atau jalan (agama) yang ditempuh. Dengan niat yang tulus ikhlas tanpa ada tujuan untuk mencari keuntungan pribadi seperti: nama baik, kemenangan, kemasyuran, dll

Catatan tradisi Bali yang berisi ajaran tentang sistem bersaji dan ketentuan sarana sesajinya dapat ditemukan terutama dalam jenis lontar keagamaan yang tergolong lontar yajnya, disebut Kalpasastra, seperti Jadma Prawreti, Dewa Tattwa, Bhamakertih, Yama Tattwa, Yama Purwana Tattwa, Pelutuk Bebanten, dan lainnya.
Dalam lontar dimaksud disebut-sebut, sarana upacara dapat dibuat dari:
(1) mantiga (telur atau yang bertelor);
(2) mantaya (yang tumbuh atau tumbuh-tumbuhan); dan
(3) maharya (yang beranak-pinak atau binatang piaraan dan hasil buruan).

Dalam lontarWasistha Tattwa (sloka 38-41) dijelaskan, sang raja atau pemimpin sebelum bersantap diwajibkan sembahyang terlebih dahulu dengan:

“macarwa ring dewa mwang ring sarwa bhuta, nyata hamanggih suka sira, mwang wirya magong”
(mempersembahkan makanan enak kepada dewa dan kepada para bhuta. Dengan cara bakti demikian sang Raja dinyatakan akan mendapatkan kemakmuran dan kebahagian hidup).

Tradisi yang baik ini adalah untuk menjaga keharmonisan baik secara vertikal (Parahyangan dan Palemahan). Oleh karenanya kita sebelum menyantap makanan mesti melakukan persembahan, yang sering disebut dengan ngejot atau Banten saiban.

Adapun daging (makanan) yang baik dipersembahkan dan kemudian dimakan sang pemimpin dijelaskan:
“Nihan ikang sinangguh mangsa rahayu tadahen de sang prabhu, lwirnya, iwak tasik, bhawi, buron, tawon, wedhus, itik, bantiga “
(Ini adalah daging yang baik dimakan sang pemimpin, yaitu ikan laut, daging babi, daging binatang buruan, tawon, daging kambing, daging itik, dan telor).

Sementara daging yang dipandang nista - karena itu tidak baik dimakan sang pemimpin - adalah daging. tikus, kadal, ular, anjing, dan daging katak. Pimpinan itu teladan masyarakat. Jika makan daging itu baik atau buruk bagi pemimpin, tentu baik atau buruk pula bagi masyarakat.

Mempersembahkan sesajen dengan lauk-pauk olahan daging terdapat hampir di seluruh tradisi religius masyarakat di Nusantara.

Dan, upacara yajnya dengan mempersembahkan olahan daging jelas tersurat dalam kitab suci Weda. Rg. Weda I.161, mantra 1-22, misalnya, memuat amanat tentang kurban kuda aswamedha yajnya. Mantra 9-13 diterjemahkan sebagai berikut:

“Daging kuda yang dimakan lezat, atau yang melekat pada tonggak atau kapak, atau daging yang menempel pada tangan dan kuku pemotong, di antara dewa-dewa, juga semua sudah siap.”

“Kotoran yang keluar dari ususnya, dan bau daging mentah masih tercium, semua itu supaya dibersihkan oleh pelaksana kurban, dan menyiapkan makanan matang untuk persembahan”.

“Apa yang menetes dari daging yang sedang diguling di atas panggangan, jangan dibiarkan ada tercecer ke tanah atau di rumput, haturkan semua kepada dewa.”

“Mereka yang melihat daging kuda yang telah dimasak berseru: Baunya sedap, angkat. Dan, daging yang empuk ini siap dibagi. Mudah-mudahan semua ini memperlancar kerja kami.”

“Garpu untuk masak daging dikaldron, mangkok-mangkok tempat sop, pot-pot pemanas, tutup piring, centong, pinggan berukir, semua disiapkan untuk kurban kuda.”

Secara didaktis moralis, mempersembahkan binatang kurban adalah ungkapan simbolik yang mengandung makna yajnya (kurban suci), yakni mengurbankan sifat-sifat binatang yang secara potensial ada bila dibiarkan, ia cenderung berkembang biak, beranak pinak dalam diri setiap orang.

Hari Raya Galungan pada penampahan Galungan, banyak Babi yang dijadikan korban untuk persembahan. Babi memiliki sifat tamas dan rajas yang sangat kuat. Maknanya adalah sebelum persembahyangan dilakukan pada hari raya Galungan maka sifat-sifat tamas dan rajas itu harus dibunuh dan ditelan mulai dari Hari Penampahan.

Dalam konteks ini, yajnya juga berarti menumbuh-kembangkan karakter luhur. Caranya: menghindari perbuatan buruk (dalam pikiran, perkataan, dan tingkah laku), bergaul dengan orang-orang baik, tekun mendengarkan dan merenungkan makna wacana suci, serta selalu berusaha mengamalkan nilai-nilai luhur demi kebahagiaan bersama, baik dengan sesama maupun dengan lingkungan alam.

Dikatakan pula, itu hanya mungkin bila dalam diri kita masing-masing bertumbuh rasa cinta kasih. Kasih adalah citra Tuhan. Demikianlah cara yang dianjurkan agama. Maka, dengan senjata kasih itu pula orang dapat mengendalikan egonya.

Kasih dan Ego menempati satu bilik yang sama, Bila ego muncul maka kasih akan lenyap demikian sebaliknya.

Apasih Ego itu sesungguhnya…?

Secara sederhana Ego = Separateness bisa dimaknai sebagai merasa beda dengan orang lain. Bisa merasa lebih bagus ini menuju pada sombong dan angkuh, marah, lobha, yang memupuk sifat merendahkan orang lain. Memandang remeh orang lain, Mengambil hak orang lain

Ego dimana dia merasa lebih rendah dari orang lain akan menghasilkan sifat rendah diri, minder, grogi, gugup sehingga tidak bisa focus dan tidak bisa optimal dalam mencapai sesuatu.

Sri Kreshna lewat percakapan suci dengan Arjuna dalam Bhagawadgita XIV.21 mengajar, ada tiga wujud utama ego: (1) kàma (nafsu atau ambisi duniawi yang berlebihan); (2) krodha (kemarahan); dan (3) lobha (kerakusan).

Pada level tertentu dan terkendali Ego itu bermanfaat untuk memacu semangat untuk maju, untuk meraih prestasi. Namun perlu diketahui ego ini jangan sampai tidak terkendali, karena dia sungguh musuh yang sangat sakti mandra guna, bisa mewujudkan diri dalam berbagai bentuk dan rupa yang siap memberangus kita manusia.

Ego dapat dikendalikan dengan memupuk rasa toleransi dan tepo seliro, menghargai bahwa setiap orang itu adalah sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangannya. Menyadari bahwa kita adalah menempati rumah yang sama yaitu alam samesta. Dan peran serta kita dalam menjaga alam itu sama-sama pentingnya. Kita membutuhkan satu sama lain untuk mencapai sukses bersinergi meraih cita dan cinta.

Dengan melakukan pelayanan (Seva) tanpa memandang posisi dan jabatan dalam masyarakat pun bisa melatih untuk mengurangi pengaruh negative dari Ego.

Mengambil tanggung jawab atas apapun yang dipandang patut untuk dilakukan seperti: melihat halaman pura kotor, segera bersihkan, Melihat sampah berserakan di kantor atau di rumah segera bersihkan jangan tunggu pembantu atau cleaning service datang membersihkan. Mahatma Gandhi selalu mencontohkan dalam prilakunya seperti ketika dia melakukan perjalanan dari kota-ke kota lainnya di India, tiap kali dia melihat WC kotor dia selalu membersihkannya terlebih dahulu, katanya; WC kotor ini kan menjadi sarang penyakit bagi saudara-saudara kita, bagi anak dan generasi kita, juga bagi alam ini, tentu saja pada akhirnya datang pada kita.

Output nyata dari semua aktivitas spiritual itu akan tampak pada perkataan yang halus menyejukkan, tindakan dan sikap yang tepat tidak menyakiti mahluk lain, bermanfaat bagi diri dan mahluk lain serta alam samesta, pikiran yang bersih dan jernih.

Om Santih Santih Santih
http://singaraja.wordpress.com

Monday, December 7, 2009

RENCANA MUSYAWARAH NASIONAL LUAR BIASA (MUNASLUB) PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA 2010

Om Swastyastu,

Dengan telah turunnya Surat Pengakuan Resmi mengenai keberadaan Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN) dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, maka pengurus PSN dituntut untuk lebih maksimal mendedikasikan waktu dan kiprahnya guna pengembangan organisasi dan khususnya yang menyangkut hal kepinanditaan.

Untuk penyempurnaan Organisasi yang meliputi Penyempurnaan AD/ART PSN, Penajaman Visi dan Misi PSN, Pengabsahan Kepengurusan PSN, Penyusunan Kode Etik/ SESANA Pinandita,serta Perumusan-perumusan Program Kerja PSN kedepan, maka pada hari Sabtu, 5 Desember 2009 bertempat di Pura Amertha Jati Cinere Jakarta Selatan, dalam rapat Pleno Pengurus PSN Pusat telah diputuskan :

1. PSN akan melaksanakan Kegiatan Musyawarah Nasional Luar Biasa (MUNASLUB) sesuai dengan AD/ART PSN saat ini.
2. Rencana kegiatan MUNASLUB PSN akan diselenggarakan tentative pada bulan Oktober 2010 yang akan datang.
3. Kegiatan MUNASLUB PSN akan diselenggarakan di Jakarta.
4. Diharapkan seluruh Korwil-Korwil PSN yang telah terbentuk di 22 Propinsi bisa mempersiapkan diri.
5. Bagi para Pinandita yang belum ada kepengurusan Korwilnya (+/- 9 Propinsi lagi) diharapkan segera menghubungi pengurus Parisada setempat atau para Pembimas wilayah setempat agar bisa difasilitasi pembentukan wadah PSNnya sehingga pada bulan Oktober 2010 sudah bisa ikut berpartisipasi didalam MUNASLUB tersebut.

Demikian informasi ini disampaikan kepada para pengunjung Blog PSN ini agar bisa disebar luaskan kepada para pinandita didaerahnya masing-masing.

Suksma

PENGURUS PUSAT PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA



PINANDITA IR. GUSTI MADE NGURAH SUYADNYA
Ketua Umum

SETAN, DOSA, DAN KUTUKAN Dalam Perspektif Hindu

Oleh : Jro Mangku Shri Dhanu


Ye tvā devosrikaṁ manyamānāḥ pāpā bhadram upajivanti pajrāḥ,

Na dūḍhye anu dadāsi vāmaṁ bṛhaspate cayasa piyārum.


Ṛgveda I.190.5

Wahai Guru Para Dewa, janganlah memberikan kekayaan terhadap

mereka yang bodoh, yang penuh dosa dan licik, dan hidup semata-mata

atas kemurahan-Mu, yang menganggap-Mu bagai sapi jantan tua.

Tetapi Engkau mendukung mereka yang

mengabdikan hidupnya kepada-Mu.



Pendahuluan

Topik tulisan di atas sepertinya sangat sulit dirangkai, dan khusus kata setan (satan) terjemahannya dalam bahasa Sanskerta adalah piśaca atau paiśaca. Kata yang maknanya sejenis dengan kata tersebut, di antaranya adalah rakṣasa. Di dalam bahasa Inggris disebut devil yang arinya setan. Kata devil berasal dari bahasa Yunani ‘diabolos’. Orang Barat dan Timur sama-sama percaya bahwa piśaca atau setan adalah musuh umat manusia, sekaligus juga musuh para Dewa (Mani, 1989:590).

Selanjutnya kata dosa, di dalam bahasa Sanskerta padannya adalah doṣa, pāpā, dan lain-lain yang maknanya sejenis dengan makna kata tersebut, sedang kata kutukan, padannya dalam bahasa Sanskerta adalah śapa atau śapatha di dalam Ṛgveda (X.87.15) pada mulanya berarti kutukan, dan bukan sumpah seperti sumpah dalam proses pengadilan (Macdonell & Keith, II, 1982:353).

Topik tulisan ini tampaknya seperti mendapat pengaruh dari agama-agama yang digolongkan dalam Abrahamic Religion atau Agama-Agama Semitik, yang di dalam Agama Hindu ketiga kata tersebut sangat sulit dirangkaikan, karena sumber ajaran teologi Hindu berbeda dengan ajaran teologi agama-agama tersebut di atas. Walaupun demikian tulisan ini mencoba mengetengahkan sumber, cerita atau makna dari istilah atau terminologi di atas.


Piśaca, Rakṣasa, dan Asura

Seperti telah dijelaskan di atas, di dalam bahasa Sanskerta tidak dikenal istilah atau kata setan (satan). Kata ini rupanya berasal dari bahasa Arab (setan) atau Ibrani (satan), yang maknanya sangat dekat atau mirip dengan kata paiśaca, rakṣasa, dan asura.

Kata setan (satan) di dalam The Student English-Sanskrit (Apte, 1987:408) adalah paiśaca (masculinum) dan paiśacī (femininum), paiśacagraṇī , paiśacanātha.

Di dalam Ṛgveda (I.133.5) disebut dengan nama paiśacī sedang di dalam Atharvaveda (II.18.4; IV.20.6, 9; IV.36.4; IV.37.10; V.29.4.5.14; VI.32.2; VIII.2.12; XII.1.50) maknanya sama dengan di dalam Ṛgveda, yakni nama dari sekelompok raksasa.

Di dalam Taittirī ya Saṁhitā (II.4.1.1, juga dalam Kāṭhaka Saṁhitā XXXVII.14) mereka diasosiasikan dengan para rakṣasa dan asura yang bermusuhan dengan para Dewa, manusia, dan leluhur.

Di dalam Atharvaveda (V.25.9) mereka digambarkan sebagai kravyād yang artinya ‘pemakan daging mentah’, yang mungkin mengandung pengertian etimologi dari kata paiśaca tersebut.

Hal ini sangat mungkin, bahwa paiśaca seperti diungkapkan oleh Grierson, merupakan musuh manusia, seperti suku asli di Barat Laut, yang sampai pada masa akhir disebut sebagai pemakan daging mentah (tidak mesti disebut kanibal, namun memakan daging manusia dalam rangkaian sebuah upacara ritual).

Demikian, walaupun tidak semuanya, sepertinya paiśaca aslinya berarti ‘setan’, yang tampak seperti suku asli, hal itu ditunjukkan dengan identitasnya yang dicemohkan. Satu cabang ilmu pengetahuan disebut paiśacavidyā yang populer muncul pada akhir zaman Veda, di antaranya ditemukan dalam kitab Gopatha Brāhmaṇa (I.1.10) (Macdonell & Keith , II, 1982:533).

Di dalam kitab-kitab Purāṇa, paiśaca dijelaskan sebagai berikut. Makhluk yang berhati dengki yang merupakan perwujudan yang jahat. Setiap orang, di mana saja di bumi ini, sejak baru terjadinya alam semesta dipercaya telah hadir roh yang jahat.

Menurut Mahābhārata (Ādiparva I) paiśaca merupakan ciptaan Dewa Brahmā. Pada masa awal Brahmā menciptakan 18 prajāpati yang dipimpin oleh Dakṣa, Gandharva, dan Paiśaca. Seperti halnya dalam Mahābhārata, dalam kitab-kitab Purāṇa juga merupakan ciptaan Brahmā. Paiśaca merupakan penghasut segala bentuk kejahatan dan memegang peranan penting di dalam kitab-kitab Purāṇa dan Mahābhārata. Paiśaca tinggal di istana Dewa Kubera dan memuja-Nya (Sabhāparva XI.49). Paiśaca tinggal di Gokarṇatī rtha dan memuja Dewa Śiva (Vanaparva LXXXV.25). Paiśaca adalah pemimpin roh-roh jahat. Ṛṣi Marī ci dan ṛṣi yang seperti beliau menciptakan roh-roh jahat (Vanaparva CCLXXII.46). Minuman para paiśaca adalah darah dan makanannya adalah daging (Droṇaparva L.9). Para bhūta (roh-roh jahat) menjadikan Ravaṇa raja mereka (Vanaparva CCLXXV.88). Dalam perang Bhāratayuddha, kuda yang menarik kereta raksasa Alambuṣa adalah para paiśaca (Droṇaparva CLXVII.38). Paiśaca bertempur melawan Karṇa dan ia berpihak menolong Ghaṭotkaca (Droṇaparva CLXXV.109). Arjuna mengalahkan paiśaca saat terbakarnya hutan Khāndava (Karṇaparva XXXVII.37). Paiśaca muncul saat pertempuran Arjuna dengan Karṇa (Karṇaparva XXXVII.50). Paiśaca memuja Dewi Parvatī dan Parameśvara yang sedang bertapa di puncak gunung Muñjavān (Aśvamedhaparva VIII.5). Pada masa berlangsungnya perang Bhāratayuddha banyak paiśaca menjelma menjadi raja (Aśramavāsikaparva XXXI.6) (Mani, 1989:590).

Di dalam susastra Jawa Kuno kata paiśaca ditulis dengan paiśāca yang artinya tidak jauh dengan makna di dalam Veda dan susastra Sanskerta, yakni nama jenis makhluk halus, mungkin disebut demikian karena kegemarannya akan daging (piśa untuk piśita) atau karena warnanya yang kekuning-kuningan; setan, iblis, raksasa, jin, makhluk yang berarti dengki atau jahat.

Di dalam Ādiparva (30) dinyatakan: saṅ Mṛgi makānak piśāca gaṇa bhūta........; kata ini dapat juga dijumpai dalam Bhīṣmaparva 109; Agastyaparva 378; 385; Rāmāyaṇa 8.128; 20.3; 23.29; Sumanasantaka 147.10; Sutasoma 125.11 (Zoetmulder II,1995:826).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka di dalam kitab suci Veda, kitab-kitab Purāṇa, setan dapat diidentikkan dengan paiśaca, bhūta, rakṣasa, daitya, dan asura yang menghasut atau mendorong terjadinya kejahatan, dapat merasuki setiap orang dan bahkan menjelma menjadi raja sebagai pemimpin sebuah negara, dan lain-lain.


Doṣa, Pāpa, dan Puṇya

Doṣa, pāpa, dan puṇya adalah 3 buah kata yang tampak saling berkaitan. Doṣa dan pāpa atau pāpā di dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam kata sin, dan dalam bahasa Sanskerta adalah pāpam, pātakam, kalmaṣam, duritam, agham, duṣkṛam, vṛjinam, aṁhas, kilbiṣam, dan lain-lain (Apte, 1987:427). Kata-kata tersebut di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata dosa yang sama artinya dengan doṣa dalam bahasa Sanskerta. Berlawanan dengan kata doṣa dan pāpā dalam bahasa Sanskerta adalah kata puṇya yang terjemahannya dalam bahasa Inggris merit. Padanan kata lainnya dalam bahasa Sanskerta adalah guṇaḥ, yogyata, pātrata, utkarṣa, puṇyam, dharma, śreṣṭhata, viśeṣaḥ, sukṛtam, śreyas (Apte, 1987:286).

Dalam susastra Jawa Kuno, kata doṣa berarti: (1) dosa, kesalahan, pelanggaran; (adj.) bersalah. Lihat juga istilah daṇḍadoṣa, guṇadoṣa, nirdoṣa, paridoṣa, sadoṣa, sthānadoṣa, sodoṣa. Terminologi tersebut terdapat dalam Virātaparva 94; Udyogaparva 103; Uttarakaṇḍa 25; 68; Ślokāntara 30.10; Arjuna Vivāha 35.6; Ghaṭotkacāśraya 38.3; 42.3; Bhomakavya dan Kidung Harsavijaya 6.46 (Zoetmulder I, 1995:225).

Kata pāpa dalam bahasa Jawa Kuno mengandung arti yang lebih luas, yakni: (1) dosa, kebiasaan buruk; kejahatan, kesalahan, hukuman/siksaan karena dosa. Terminologi ini dapat dijumpai pada Ādiparva 47; 81; Udyogaparva 9, Brāhmāṇḍapurāṇa 52; Rāmāyaṇa; Sutasoma 34.8: nora pāpa kadi pāpa niṅ anak atiduṣṭa riṅ yayah. (2) kemalangan, kesusahan, kesukaran, kesukaran, keadaan yang tidak menyenangkan, kesengsaraan. Dapat dijumpai dalam Virātaparva 75; manahên pāpa; Agastyaparva 366; Arjuna Vivāha 16.9: lêhêṅa juga ṅ pêjah saka ri pāpa pāpa anahên iraṅ lawan lara.Smaradahana 24.8, (3) jahat, buruk, jelek, nakal, celaka, malang, sengsara, orang jahat, penjahat, orang yang berdosa. Lihat juga: atipāpa, mahā pāpa, mahātipāpa. Virātaparva 31; Bhīṣmaparva 111; Uttarakaṇḍa 44; Sutasoma 35.7; Kidung Harsavijaya 3.95: woṅ pāpa kawêlas hyun (Zoetmulder I, 1995:758).

Agama Hindu pada dasarnya sangat konservatif, dan banyak aturan yang digunakan termuat di dalam kitab suci Veda dan masih efektip diikuti untuk aktivitas rutin sehari-hari oleh jutaan umat Hindu. Beberapa di antaranya adalah ajaran Karmamārga (jalan kerja). Agama Hindu seperti agama-agama tradisi lainnya, selalu mengingatkan pada pentingnya penekanan pada pelaksanaan etika dan moralitas yang masih terpelihara, tetapi juga selalu diperbaiki. Gagasan terhadap hukuman dan pertobatan terhadap dosa menempati posisi yang luas dalam kehidupan kebanyakan umat Hindu.

Upacara siklus hidup yang disebut saṁskāra menunjukkan hal itu, tidak hanya diikuti oleh anggota ke dalam tingkatan hidup selanjutnya, tetapi juga mengembangkan kekuatan spiritual mereka dan meyakini kebutuhan personal mereka (Klostermaier, 1990:146).

Di dalam Bhasmajabalopanisad (165) yang merupakan Upaniṣad yang bersifat Śaivaistik, dijelaskan pahala bagi mereka yang mempergunakan atribut (lakṣaṇa) yang berkaitan dengan sekta ini, di antaranya tripuṇḍra, yang merupakan tiga garis sejajar dioleskan pada dahi sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Śiva yang terbuat dari abu. Di dalam Upaniṣad tersebut dijelaskan tentang keutamaan dan kesucian penggunanan abu (vibhuti) yang dibuat dari kotoran sapi, dan bagaimana abu tersebut digunakan.

“Untuk para Brāhmaṇa mengenakan bhasma (abu) merupakan perilaku yang baik dan benar. Tanpa menggunakan tanda-tanda tersebut, seseorang tidak dapat minum atau mengerjakan sesuatu. Hendaknya ia menggunakan tanda-tanda (dari abu) itu dengan diikuti pengucapan gāyatri-mantra atau mempersembahkan sesajen pada api suci. Dengan menggunakan tanda-tanda itu seseorang berjalan di jalan yang benar untuk menghancurkan semua dosa dan mencapai keselamatan (mokṣa)….. Ia yang menggunakan tanda-tanda dari abu tersebut pada pagi-pagi benar, yang bersangkutan akan dibebaskan dari segala dosa yang dilakukan pada malam sebelumnya, termasuk juga dosa yang berasal karena mencuri emas.

Ia yang melakukan (dosa) pada siang hari dan bermeditasi kepada matahari, dibebaskan dari dosa akibat menikmati minuman yang memabukkan, mencuri emas, membunuh Brāhmaṇa, membunuh sapi, membunuh kuda, membunuh gurunya, dan membunuh bapak dan ibunya. Dengan memohon perlindungan melalui abu suci itu tiga kali sehari, ia memperoleh pahala dari belajar Veda, ia memperoleh kemuliaan (jasa baik) karena menyucikan diri di seluruh 35.000 patī rthan (pura tempat air suci), ia mencapai kesempurnaan hidup”(Klostermaier, 1990:153).

Di dalam kitab Chāndogya Upaniṣad (V.10.9-10) dinyatakan bahwa: “Ia yang mencuri emas, yang minum minuman keras, yang tidak menghormat tempat tidur gurunya, ia yang membunuh Brāhmaṇa, keempat orang itu jatuh dalam dosa (mahāpātaka), dan yang kelima adalah yang bergaul dengan mereka. Tetapi, orang yang tidak ternoda oleh kejahatan, walaupun iam bergaul dengan orang yang demikian. Ia menjadi suci, bersih, mencapai dunia kebajikan (puṇyaloka), ia yang mengetahui hal ini, sungguh ia mengetahuinya” (Radhakrishan, 1990:434).

Selanjutnya Manusmṛti (VIII.381) menyatakan: “Tidak ada perbuatan kriminal yang lebih besar dari perbuatan membunuh Brāhmaṇa, karena itu hendaknya jangan sekali-sekali terpikir di dalam hati untuk melakukan hal itu”(Pudja & Sudharta, 2004:429).

Di dalam kitab yang sama (VIII.350-251) dinyatakan: “Seseorang boleh membunuh seorang pembunuh, tanpa ragu-ragu yang dengan maksud membunuh apakah ia seorang guru, anak-anak, orang yang sudah berumur, atau seorang Brāhmaṇa yang akhli di dalam Veda. Dengan membunuh seorang pembunuh, pembunuhnya tidak berbuat salah (dosa), apakah ia lakukan di depan umum atau terang-terangan dalam hal itu kemarahan melawan kemarahan (Pudja & Sudharta, 2004:422). Di dalam Vaśiṣtha Dharmasūtra (III.15-18) dinyatakan bahwa seorang yang melakukan pembunuhan terhadap pelaku sad ātatāyi (ātatāyin) maka pembunuh itu tidak dianggap melakukan dosa (Kane, II.1, 1974:149).

Di dalam Bhagavadgītā (XVI.21) disebutkan adanya tiga pintu gerbang neraka yang merupakan doṣa atau pāpa yang mengantarkan ke tiga pintu gerbang neraka, yakni: kāma (moha), lobha, dan krodha. Ketiga perbuatan buruk (pāpakṛt) merupakan pāpa atau doṣa yang mesti dihindari oleh setiap orang, terutama yang ingin sukses menempuh jalan rohani (Tri Mārga).

Kitab Ślokāntara 75-78 membedakan 4 macam dosa, yakni doṣa pātaka, doṣa upapātaka, doṣa mahāpātaka, dan doṣa atipātaka yang masing-masing disebut dosa kecil, dosa menengah, dosa besar, dan dosa terbesar, masing-masing sebagai berikut:

(1) doṣa pātaka meliputi: bhrunahā, menggugurkan kandungan, puruṣaghna, membunuh manusia lainnya, seperti sastrawan dan hartawan, kanyācora, melarikan gadis dengan paksa, agrayajaka, yang kawin mendahului saudaranya yang lebih tua,

(2) doṣa upapātaka meliputi: govadha, membunuh sapi, yuwatī vadha, membunuh perempuan muda, bālavadha, membunuh anak-anak, vṛddhavadha, membunuh orang tua, āgāravadha, membakar rumah dan penghuninya.

(3) doṣa mahāpātaka, meliputi: brāhmavadha, membunuh Brāhmaṇa, surāpāna, minum minuman keras atau yang memabukan, suvarṇasteya, mencuri emas, kanyāvighna, memperkosa seorang gadis sampai gadis itu mati, guruvadha, membunuh guru.

(4) doṣa atipātaka, meliputi: svaputrī bhajana, memperkosa putri sendiri, matṛbhajana, memperkosa ibu sendiri, dan liṅgagrahaṇa, merusak tempat suci atau tempat pemujaan (Sudharta, 2003:252-259).

Demikian kitab Ślokāntara yang merupakan ajaran moralitas berupa teks berbahasa Sanskerta dan terjemahan dalam bahasa Jawa Kuno. Lebih lanjut tentang puṇya dapat dijelaskan sebagai berikut. Kata puṇya di dalam bahasa Inggris adalah merit yang padanannya dalam bahasa Sanskerta antara lain: guṇa, yogyata, utkarṣa, śreṣṭhatā, dharma, sukṛtam, śreyaḥ, dan yang sejenis dengan itu (Apte, 1987:286).

Di dalam Manavadharmaśāstra atau Manusmṛti (XII.105-106) dinyatakan: “Seseorang yang ingin memperoleh penyucian dari dharma (dharmaśuddhi) seharusnya menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Hanya mereka yang menguasai ‘tarka’ (kemampuan untuk menganalisis sesuatu) dan tidak mempertentangan susastra Veda (Vedaśāstra) dengan ajaran suci Veda, yang merupakan ajaran dharma yang diajarkan oleh para ṛṣi, yang akan menguasai dharma, tidak yang lain”.

Lebih jauh di dalam kitab yang sama (IV.175-176) juga dinyatakan: “Oleh karena itu seseorang hendaknya selalu bergembira melaksanakan kebenaraan, taat kepada ajaran suci (Veda), bertingkah laku terpuji, sebagai orang yang mulia, selalu suci hati……Suatu perbuatan yang bila pada akhirnya tidak memberikan kebahagiaan dan sangat dikutuk di dunia ini (lokavikruṣṭha) bukanlah Dharma dan harus ditinggalkan”. Hal yang sama juga diungkapkan dalam Yajñavalkya Smṛti (VI.156).

Selanjutnya tentang penguasaan ajaran suci Veda, Śrī Kṛṣṇa di dalam Bhagavadgītā (XVI.24) menyatakan: “Oleh karena itu jadikanlah kitab suci menjadi pegangan hidupmu untuk menentukan yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dengan mengetahui ajaran suci (Veda) tersebut, hendaknya engkau melakukan kegiatan kerja di dunia ini”. Penjelasan tersebut sejalan dengan terjemahan mantra dari Śatapatha Brāhmaṇa (XI.5.7.1) berikut. “Belajar dan menyiarkan ajaran suci Veda.Dia yang mengetahui hal ini mencapai pikiran yang terpusat. Dia tidak menjadi budak nafsunya. Keinginannya akan menjadi kenyataan, dan ia hidup menikmati kebahagiaan. Sesungguhnya dia menjadi penyembuh dirinya sendiri. Dirinya terkendali, penuh bhakti, dengan pikiran yang bijaksana. Dia mencapai kemashyuran dan berbuat baik di dunia ini”. Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah pula bagi kita bahwa ajaran suci Veda hendaknya dapat dijadikan pedoman kebajikan (puṇya) dalam hidup dan kehidupan ini.


Śapatha (Kutukan)

Seperti telah disebutkan pada bagian pendahuluan, kata Śapa atau Śapatha pada berarti kutukan dan bukan sumpah dalam proses pengadilan, seperti dinyatakan dalam Ṛgveda X.87.15. Pengertian yang terakhir ini rupanya muncul belakangan, seperti ditunjukan oleh Atharvaveda III.9.5; IV.9.5; IV.18.7; IV.19.7, dan Ṛgveda VII.104.15, yang menyatakan bahwa Vasiṣṭha terkutuk dan memperoleh kematian bila ia melakukan kejahatan (menyihir orang), dan kematian bagi musuh-musuhnya bila ia tidak melakukan hal itu.

Tentang kutukan atau orang yang mengalami kutukan, informasinya sangat banyak dapat dijumpai dalam kitab-kitab Itihāsa (Rāmāyaṇa dan Mahābhārata) maupun dalam kitab-kitab Purāṇa. Di dalam Rāmāyaṇa karya Vālmī ki terdapat ceritra dikutuknya dewi Ahalyā menjadi batu oleh suaminya sendiri Mahārṣi Gautama, karena dewa Indra menggodanya yang datang ke pertapaan dengan manyamar sebagai Mahārṣi Gautama sendiri. Ahalyā bebas dari kutukan (pariśuddha) setelah kaki Śrī Rāma menyentuh batu tersebut, dan Ahalyā kembali menjadi suci (Mani, 1989:17).

Demikian pula ceritra dikutuknya putra-putra raja Sagara oleh Mahārṣi Kapila dalam kisah turunnya sungai Gaṅgā. Putra-putra raja Sagara berhasil mencapai mokṣa Mahārṣi setelah mendapat siraman air suci Gaṅgā (Mani, 1989:17). Di dalam kitab-kitab Purāṇa sangat banyak ceritra tentang kutukan, bahkan para Dewa juga mengalami hal yang sama.

Vijayalakṣmī berubah menjadi Laṅkalakṣmī , karena kutukan Dewa Brahmā. Vijayalakṣmī adalah salah satu dari Lakṣmī penjaga kekayaan Dewa Brahmā. Suatu hari, salah satu dari padanya lalai melaksanakan tugasnya. Dewa Brahmā sangat marah dan mengutuknya, “Kamu pergi ke tempatnya Rāvaṇa dan jaga menaranya!”. Ia dengan kerendahan hati memohon untuk mengampuni kutukan tersebut. Brahmā bersabda: “Pada saat inkarnasi Śrī Rāma, seorang pahlawan kera bernama Hanumān akan menuju Laṅka dalam usaha mencari istri Śrī Rāma, yang telah diculik oleh Rāvaṇa, dan ia akan menabrakmu. Pada saat itu kamu akan dibebaskan dari kutukan dan kamu akan segera kembali kemari!” Menurutnya, Vijayalakṣmī lahir di Laṅka dengan nama Laṅkalakṣmī . Ketika Hanumān terbang menuju Laṅka, ia mencegahnya, dan saat itu Hanumān menabraknya jatuh ke bumi (Kaṁpa Rāmāyaṇa, Sundara Kāṇda) (Titib, 2004:184)

Suatu hari Brahmā memuja Sang Hyang Śiva dan memohon kesediaannya untuk menjadi putranya sendiri. Sang Hyang Śiva tidak berkenan atas permintaan tersebut. Śiva marah dan mengutuk, “Saya akan menjadi anak anda. Tetapi saya akan menebas wajah anda yang ke-5”. Sejak saat itu Dewa Brahmā hanya memiliki 4 wajah (Caturmukha) (Titib, 2004:199). Demikian cukup banyak śapatha yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab Purāṇa.

Śapatha atau kutukan dapat ditemukan tidak hanya dalam karya sastra. Dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja baik di India, di Nusantara, termasuk di Bali ditemukan informasi tentang kutukan tersebut. Bahkan dalam lontar-lontar babad (ceritra-ceritra leluhur) di Bali ditemukan juga hal itu dan umumnya disebut dengan bhī ṣama yang juga di dalamnya terdapat śapatha. Śapatha dapat diakhiri dengan berbagai upacara (ritual, seperti prayaścitta, nilapati atau daṇḍakalêpasan) dan pertapaan (termasuk pula berbagai bentuk puasa) yang dilakukan dengan tekun.


Penutup

Demikian uraian singkat tentang setan, dosa, dan kutukan dalam perspektif Hindu tentunya masih banyak lagi yang perlu diperdalam dan hal yang terpenting bahwa setan jangan mempengaruhi pikiran kita, sehingga tidak melakukan dosa, apalagi perbuatan yang dianggap terkutuk oleh masyarakat.



Daftar Pustaka

Apte, Shivram Vaman.1987. The Student English-Sankrit Dictionary. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.

Dvivedi, K.D. 1990. The Essennce of the Vedas. Gyanpur, Varanasi: Vishva Bharati Research Institute.

Kane, P.V.1974. History of Dharmasastra Vols. II. 1, Poona India: Bandarkar Oriental Series.

Klostermaier, Klaus K. 1990. A Survey of Hinduism. New Delhi, India: Munshiram Manoharlal.

Macdonell, A.A. & Keith, A.B.I-II.1982. Vedic Index of Names and Subjects. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.

Mani, Vettam.1989. Puranic Encyclopaedia. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.

Maswinara, I Wayan. 2003. Bhagavadgita, Teks dan Terjemahan Inggris dan Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramita.

Pudja, G. & Sudharta, Tjokorda Rai. 2004. Manawa Dharmasastra, Weda Smrti, Kompedium Hukum Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita.

Radhakrishan, Sarvepali.1990. Principal Upanisads. Bombay-New Delhi, India: Oxford University Press.

Sudharta, Tjokorda Rai.2003. Slokantara, Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjamahan dan Ulasan. Surabaya: Penerbit Paramita.

Titib, I Made. 2004. Purana, Sumber Ajaran Hindu Komprehensif. Surabaya: Penerbit Paramita.

Titib, I Made.2003. Veda, Sabda Suci: Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita.

Zoetmulder, P.J.,1995.Kamus Jawa Kuna-Indonesia. 2 Jilid. Terjemahan Darusuprapta, Sumarti Suprayitna, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

=======

" sathyamvada dharmacara-sampaikan kebenaran dengan cara yang benar"